homescontents

logo pa maros3

Written by Super User on . Hits: 2086

Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Maros

Pengadilan Agama Maros dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 tertanggal 5 Oktober 1957 dan Surat Penetapan Menteri Agama No. 5 tahun 1958 tertanggal 6 Maret 1958.

Perjalanan Pembentukan Pengadilan Agama Maros

  • Masa sebelum penjajahan, Peradilan agama telah dikenal bersamaan masuknya agama Islam di Indonesia dengan menunjukkan keberadaannya sekaligus berfungsi sebagai penasehat bagi kesultanan Islam, hal ini berlangsung sampai masa penjajahan Belanda.Penjajahan Belanda juga mencampuri urusan pengadilan agama dengan dikeluarkannya Stb. 1882 No. 152 tahun 1882, yang dikenal dengan “Priesterraad” kemudian diubah dengan Stb. No. 610 tahun 1937 mengenai wewenang untuk pengadilan agama di Jawa dan Madura.
  • Masa kemerdekaan,  Pada tahun 1946 Presiden RI telah menetapkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 tanggal 21 November 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Dengan meningkatnya tugas-tugas bidang kepenghuluan dan pencatatan NTCR maka atas resolusi konprensi jawatan agama seluruh Jawa dan Madura tanggal 12 s/d 16 November 1947 menetapkan formasi yang terpisah dari penghulu kabupaten. Terjadilah pemisahan fungsi dan tugas antara penghulu kabupaten sebagai kepala pegawai pencatat nikah dengan penghulu hakim, yakni ketua pengadilan agama sebagai Qadhi dan Hakim Syara’. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 tanggal 5 Oktober 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat serta tempat kedudukan dan daerah hukumnya dan Peraturan Menteri Agama No. 5 tahun 1958 tanggal 6 Maret 1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Sulawesi Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat, termasuk Pengadilan Agama Maros di Sulawesi Selatan.
  • Masa berlakunya Undang-Undang No. 7 tahun 1989. Pengadilan Agama Maros adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan negara yang dijamin kemerdekaannya dan menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tanggal 17 Desember 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tanggal 29 Desember 1989 tentang Peradilan Agama, maka pengadilan agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara tertentu mengenai golongan rakyat tertentu yang merdeka, beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan peradilan agama oleh Undang-Undang ini dihapus, seperti pengukuhan keputusan pengadilan agama oleh pengadilan negeri. Sebaliknya untuk memantapkan kehadiran peradilan agama oleh undang-undang ini diadakan jurusita, sehingga pengadilan agama dapat melaksanakan keputusannya sendiri.
  • Masa berlakunya Keppres satu atap sampai sekarang. Pada amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 10 November 2001 menentukan dalam pasal 24 ayat 2 bahwa peradilan agama merupakan salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bersama peradilan lainnya. Dari hal di atas, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970. Keberadaan undang-undang tersebut, untuk mengefektifkannya, maka dikeluarkanlah Keputusan Presiden RI Nomor 21 tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung, tanggal 23 Maret 2004. Pada Keppres tersebut ditetapkan bahwa terhitung tanggal 30 Juni 2004 Peradilan Agama sudah resmi dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung baik dari segi organisasi, administrasi dan finansial. Amandemen dan perubahan undang-undang tersebut di atas memaksa dan menghendaki adanya perubahan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Oleh karenanya, lahirlah Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 untuk menyesuaikan dengan perkembangan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim.
  • Pendirian Bangunan Pengadilan Agama Maros
      Pendirian bangunan Pengadilan Agama Maros diperoleh pada 26 desember 2007

Pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tersebut, peradilan agama sudah sejajar dengan lembaga peradilan lainnya di Indonesia dalam berbagai hal di bawah naungan Mahkamah Agung, termasuk usia pensiun hakim, begitupula pada pasal 49 undang-undang tersebut menambahkan kewenangan peradilan agama dalam hal Zakat, Infaq, dan Ekonomi Syari’ah.

Terbentuknya Kabupaten Maros

Kabupaten Maros adalah salah satu bekas daerah kerajaan di Sulawesi Selatan. Dalam konteks sejarah pada abad XV, di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Marusu dengan raja pertama bergelar Karaeng Loe Ripakere.

Dalam perjalanan sejarah, kerajaan Marusu telah memberi pengaruh psikologis dan disegani, sehingga pemerintah kolonial Belanda tidak mudah menaklukkannya. Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi persaingan di antara kerajaan karena masing-masing punya kepentingan politik serta menginginkan agar nama kerajaannya ditetapkan sebagai nama ibukota Kabupaten Maros.

Sistem pemerintahan adat yang berlaku ialah:

  • Pemerintahan adat Toddo Limae
  • Pemerintahan adat Gallarang Appaka
  • Pemerintahan adat Lebbo Tengngae
Pada tanggal 1 Februari 1960, Kabupaten Maros ditetapkan sebagai daerah otonomi (Swatantra II) yang ditandai dengan pengangkatan bupati pertama, Nurdin Djohan, berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri tanggal 23 Februari tahun 1960, oleh karena itu, hari jadi Kabupaten Maros diperingati setiap tanggal 1 Februari.
Dari uraian singkat tentang sejarah perkembangan Pengadilan Agama Maros, dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum tersebut dapat terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat sebagai berikut:

Kelembagaan

Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain --yang secara nyata-- didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Materi Hukum

Hukum Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan yang jelas. Dimulai dengan Kompilasi Hukum Islam, yang selanjutnya perlu disempurnakan dan dikembangkan, kemudian hukum mengenai shadaqah dan baitul mal segera dibentuk. Demikian pula dengan hukum formil peradilan agama perlu dikembangkan.

Personil

Dalam melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang profesional, netral (tidak memihak) dan sebagai anggota masvarakat ia orang yang menguasai masalah keislaman, yang menjadi panutan dan pemersatu masyarakat sekelilingnya serta punya integritas sebagai seorang muslim.